(Ngesot ngesot deh,yang penting gak jatoh,kkkkk :) )
sekarang ini demi sebuah posisi atau jabatan, sebagian orang sangat
mudah berjanji dan sering tidak menepatinya tanpa sedikitpun ada
penyesalan. Lain di bibir lain di hati.
Di depan orang
bertindak seperti orang baik, di belakang sering mengabaikan perintah
agama. Gemar sekali bermaksiat, menipu, menggunjing, dan menebar berita
yang tidak jelas kebenarannya. Termasuk tidak segan-segan memfitnah
saudara sendiri jika dianggap menghambat perjalanan karir atau mengancam
posisinya. Sementara itu, tradisi yang dibangun setiap hari dan
malamnya hanyalah ke kafe, hotel, dugem, dan pesta-pesta tiada henti.
“Semua itu demi masa depan,” dalihnya.
Padahal, mengacu pada
sumber hadits Nabi, di akhirat nanti, setiap manusia harus melintasi
yang namanya shirath (jembatan) yang menjadi penentu nasib setiap jiwa
bisa masuk surga atau terjun ke neraka. Oleh karena itu, Ibn Athaillah
sangat heran kepada tingkah laku kebanyakan manusia yang heboh mengejar
dunia dan tertawa-tawa seolah telah peroleh kebahagiaan akhirat. Di
depan manusia bertingkah laku baik, di belakang sering melupakan aturan
Allah.
Melintasi Shirath
Dalam kitabnya Tajul Arus,
Ibn Athaillah berkata, “Kau tertawa terbahak-bahak seakan-akan telah
melewati jembatan (shirath) dan menyeberangi neraka. Jika kau tidak
menjaga sikap wara’ kepada Allah yang bisa mencegah dari maksiat ketika
sendiri, taburkan tanah ke atas kepala sebagaimana Nabi Muhammad
shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Barangsiapa tidak memiliki sikap
wara’ yang bisa mencegahnya dari maksiat ketika sendiri, Allah sama
sekali tidak akan memedulikan amalnya.” (HR. Al-Daylami).
Shirath sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi adalah jembatan di atas
Jahannam. Dalam shahih Bukhari Muslim disebutkan, “Jembatan Jahannam
dibentangkan dan aku yang pertama kali melewatinya. Doa para rasul
ketika itu adalah: ‘Ya Allah, selamatkan!’
Pada jembatan itu
terdapat jangkar-jangkar seperti duri sa’dan. Tahukah kalian, apakah
duri sa’dan itu? Para sahabat menjawab, ya.
Beliau melanjutkan,
“Ia bagaikan duri sa’dan, hanya saja tidak ada yang mengetahui besarnya
kecuali Allah. Ia akan menarik manusia sesuai dengan amal perbuatan
mereka. ada yang selamat ada pula yang merangkak kemudian selamat.” (HR.
Bukhari).
Jadi, satu hal yang mestinya menjadi perhatian
setiap orang beriman adalah bagaimana kira-kira nasibnya di akhirat
nanti, terutama ketika harus melewati shirath. Karena shirath ini adalah
media penentu dari Allah seseorang masuk surga atau terjungkal ke dalam
neraka.
Sungguh, kita tidak pernah bisa mengetahui, apalagi
memastikan, apakah amal yang kita lakukan termasuk amal yang diterima,
jiwa kita adalah jiwa yang takwa, atau justru masuk kelompok manusia
yang celaka.
Oleh karena itu, kita patut bertanya dalam diri,
sebagaimana Hasan bin Ali radhiyallahu anhu berkata, “Aku takut ketika
sebagian dosaku terlihat kemudian Allah berkata, ‘Dosamu tidak
diampuni.”
Masa depan manusia yang harus menyeberangi shirath
itulah yang kemudian mendorong Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam
bersabda, “Seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, tentu kalian
akan sedikit tertawa dan banyak menangis,” (HR. Bukhari).
Artinya, kita harus benar-benar mengimani hari akhir, dengan bersegera
melakukan segala amal sholeh dan menjauhi perbuatan yang merusak.
Berlomba-lomba menyiapkan bekal takwa menuju Allah agar kelak mendapat
rahmat dari-Nya dan bisa menyeberang di atas shirath dengan selamat
hingga ke surga.
Firman-Nya tentang Hari Esok
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr [59]: 20).
Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut menyebutkan riwayat yang
disampaikan oleh Imam Ahmad dari Al-Mundzir bin Jabir, yang secara inti
memaparkan pengalaman Rasulullah melihat suku Mudhar yang sangat miskin,
hingga tak beralas kaki dan tidak berpakaian.
Melihat hal
tersebut, kemudian Rasulullah berkhutbah, “Wahai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang
satu (sampai akhir ayat). Lau beliau membaca ayat tersebut hingga
tuntas, kemudian menambahkan, ‘…meskipun hanya dengan satu belah kurma.”
Mendengar khutbah itu, seorang sahabat Anshar datang membawa satu
kantong, hampir saja telapak tangannya tidak mampu mengangkatnya, bahkan
memang tidak mampu. Lalu orang-orang pun mengikuti sehingga aku melihat
dua tumpukan dari makanan dan pakaian, sehingga aku melihat wajah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam berseri-seri bagaikan disepuh
emas.
Maka, menurut Ibn Katsir hari esok itu atau masa depan
itu hanya tepat jika kita persiapkan dengan banyak beramal sholeh,
bersegera membantu saudara yang lain yang sangat berhajat terhadap
kebutuhan hidup, walau hanya dengan separuh biji kurma. Kemudian
menjauhi seluruh bentuk larangan-Nya.
Dengan demikian
perbanyaklah intropeksi diri (muhasabah). Lihatlah apa yang telah kita
tabung untuk akhirat kita sendiri utamanya ketika bertemu dengan Rabb
kita semua. Jangan sampai kita lupakan hal yang sebenarnya tidak lama
lagi akan kita jumpai dalam perjalanan panjang kehidupan akhirat.
Mulai sekarang, berhentilah bergantung pada harta, jabatan, dan
kekuasaan. Semua itu tidak akan berarti apa-apa tanpa iman, takwa dan
amal sholeh. Justru siapapun kita, pada dasarnya sangat berpotensi
mendapatkan masa depan yang baik bahkan sangat-sangat baik, asalkan,
senantiasa menjaga dan meningkatkan kualitas takwa kepada-Nya dan banyak
melakukan amal sholeh untuk kemaslahatan bersama.*/Imam Nawawi
Judul:
MELINTASI JEMBATAN ASH SHiRAT
Rating:
100%
based on
99998 ratings.
5 user reviews.
Ditulis Oleh
Unknown
01.55
Artikel Terkait Motivasi :
0 komentar:
Posting Komentar