“SESUNGGUHNYA
setiap agama mempunyai akhlak dan sesungguhnya akhlak Islam adalah
malu,” demikian hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Malu bukanlah sifat yang mudah
untuk dimiiki. Malu hanya akan tumbuh dan menjadi perangai seorang
Muslim manakala imannya kepada Allah dan hari akhir benar-benar sangat
kokoh.
Hari ini nampaknya sebagian besar umat Islam agak abai
dengan sifat malu ini. Contoh paling nyata adalah beberapa sikap kaum
Muslimah yang belum menutup aurat ketika memajang foto-foto yang
semestinya tidak di upload ke dunia maya malah justru sangat disenangi
dan digandrungi. Narsis, begitu istilah mereka.
Bahkan ada yang
suka memasang foto dirinya saat berenang dengan pakaian yang tidak
sepantasnya. Demikian pula dengan yang laki-laki yang juga memajang
foto-foto anggota badan yang termasuk aurat ke dalam status
Facebook-nya.
Selain di dunia maya, pemandangan sehari-hari,
sering kita saksikan pria-wanita berboncongan berpelukan, padahal dia
bukan suami-istri. Tak jarang, sebagian di antara mereka adalah
gadis-gadis berjilbab.
Ada juga yang tak kalah memprihatinkan.
Aksesori dan sytel pakaian wanita saat ini justru lebih tepat dikatakan
terbuka, dibanding tertutup. Inilah yang pernah disitir Rasulullah
Muhammad sebagai, ‘berpakaian tapi sesungguhnya telanjang’. Pemandangan
ini bisa kita saksikan di jalanan, di kantoran, pasar bahkan di kampus.
Tak jarang pula banyak gadis-gadis jilbab menutupi kepalanya namun di
sisi lain, bagian tubuh yang lain hanya sekedar dibalut, sehingga (maaf)
antara berpakaian dan telanjang sesungguhnya tak ada bedanya.
Mengenai aurat ini, perhatian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam
sangat tegas. Beliau bersabda; “Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala
Mahalembut, Mahamalu dan Mahamenutupi, Dia menyukai sifat malu dan
menutupi, maka jika salah seorang dari kalian mandi, hendaknya dia
menutup diri.”
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa lihat
dari sikap sebagian kaum Muslimin yang tidak bersegera menunaikan
kewajiban-kewajibannya. Sudah tahu waktu sholat tidak lama lagi,
lantunan adzan pun mulai terdengar, tetapi masih lebih memilih asyik
nonton di depan TV, bahkan sebagian lainnya masih asyik ber-Facebook
ria. Hal ini juga menandakan bahwa sifat malu belum menjadi bagian tak
terpisahkan dari sebagian umat Islam.
Dalam ajaran Islam,
seorang Muslim yang melakukan dua contoh sikap di atas, dan termasuk
Muslim yang mengabaikan imannya hanya karena urusan keduniaan, termasuk
kelompok Muslim yang belum memiliki rasa malu. Mengapa demikian?
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda;
“Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.” Mereka
menjawab, “Alhamdulillah, kami malu.” Nabi pun melanjutkan sabdanya;
“Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah
hendaknya kamu menjaga kepala dan apa yang dipahaminya, menjaga perut
dengan isisnya, hendaknya kamu mengingat kematian dan hancurnya jasad
sesudahnya, barangsiapa menginginkan akhirat, niscaya dia meninggalkan
perhiasan dunia, barangsiapa melakukan hal itu, maka dia tetlah malu
kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi).
Itulah
mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak pernah melewati
malam melainkan dengan bangun untuk tahajjud. Beliau malu kepada Allah
jika nikmat yang begitu besar dan amanah yang tidak ringan tidak
ditunaikan secara sungguh-sungguh dengan penuh kesyukuran. Beliau malu
jika sepanjang malam digunakan hanya untuk tidur. Demikianlah sifat
manusia agung yang sangat pemalu, terutama kepada Allah Subhanahu
Wata’ala.
Ketika malam Mi’raj dalam perjalanan beliau kembali
ke langit dunia untuk membawa perintah mendirikan sholat, beliau
bolak-balik menghadap Allah karena mendapat saran Nabi Musa agar
perintah sholat yang Allah wajibkan atas umatnya dikurangi jumlah
raka’atnya.
Akhirnya setelah mendapatkan keringanan menjalankan
shalat lima waktu sehari semalam, Nabi Musa masih menyarankan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam minta keringanan kepada Allah.
“Istahyaytu min rabbi” demikian jawab manusia agung itu. “Aku malu
kepada Rabbku”. Subhanallah, Rasulullah saja malu meminta keringanan
lagi, lalu mengapa sebagian umat Islam tidak bersemangat mendirikan
shalat.
Bahkan Rasulullah malu hanya berdoa untuk dirinya
sendiri. Beliau malu kepada Allah sekaligus malu kepada seluruh umatnya
jika berdoa hanya untuk diri beliau sendiri, apalagi setiap doa beliau
pasti dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
Hal ini beliau
jelaskan dalam sebuah sabdanya; “Setiap Nabi mempunyai doa yang
mustajab, lalu masing-masing dari mereka bersegera menggunakan doanya
(di dunia), namun aku menyimpan doaku sebagai syafa’at bagi umatku di
hari kiamat, ia akan didapatkan Insya Allah oleh siapa pun dari umatku
yang mati daam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun.” (HR.
Bukhari).
Jika Rasulullah malu kepada kita sebagai umatnya,
dan mengkhususkan doa mustajabnya untuk kita, lalu mengapa kita tidak
malu mengabaikan amanah dan sunnah-sunnah beliau, sementara kita selalu
berharap mendapat syafaatnya kelak di hari kiamat?
Malu dalam Pergaulan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam juga sangat memperhatikan rasa
malu dalam pergaulan. Aisyah mengatakan bahwa beliau senantiasa menjaga
diri dari yang tidak baik (iffah) dan menjaga kesendirian. “Nabi
seorang yang tidak suka berkata kotor, tidak gemar menjelek-jelekkan,
dan tidak berteriak-teriak di pasar,” demikian tutur istri beliau yang
banyak meriwayatkan hadits-haditsnya.
Urusan malu adalah urusan
iman dan termasuk perkara yang besar. “Malu itu termasuk dari iman, dan
iman itu di dalam surga, keburukan ucapan termasuk sikap tidak peduli
(kurang ajar) dan sikap tidak peduli itu adalah di neraka,” demikian
tegas Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oeh Tirmidzi.
Rasulullah menjelaskan bahwa malu adalah lawan dari keburukan ucapan, ia
tidak akan pernah sejalan dengannya. Manakala kita menjumpai manusia
yang lisannya selalu menjelek-jelekkan orang lain, dan
membangga-banggakan dirinya, cukuplah bukti bahwa orang itu tidak punya
rasa malu yang berarti cacat keimanannya. Dan, tidak ada yang
dikehendakinya melainkan kehidupan dunia belaka.
Di sinilah
fungsi utama akhlak. Oleh karena itu akhlak dalam Islam itu meliputi
banyak sisi, mulai dari akhlak kepada Allah, manusia dan alam semesta.
Maka dari itu, milikilah akhlak yang mulia karena hanya dengan akhlak
mulia itu seorang Muslim akan memiliki rasa malu yang sebenar-benarnya.
Bukan rasa malu yang umum disalahpahami oleh kebanyakan manusia, dimana
malu hanya ditujukan kepada manusia. Padahal malu yang benar adalah malu
kepada Allah bukan kepada manusia.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wassalam bersabda; “Seseorang lebih patut untuk malu kepada
Allah daripada kepada manusia.” (HR. Abu Dawud).
Perilaku
sebagian orang yang gemar mengambil hak orang lain (korupsi), tidak
jujur, dan takut diketahui orang segala rencana dan perbuatannya yang
merusak, semuanya termasuk sifat tercela dan menunjukkan ketiadaan rasa
malu kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Orang yang seperti itu
biasanya akan shock jika keburukannya diketahui oleh orang lain, sebab
baginya tidak ada yang lebih ditakutkan kecuali ada manusia
mengetahuinya. Terhadap Allah, orang seperti itu tidak benar-benar malu.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika mereka berani melawan perintah
Allah, asalkan manusia tidak mengetahui dan menentangnya. Naudzubillah.
Terhadap orang seperti itu, Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya di
antara ajaran yang manusia dapatkan dari perkataan kenabian yang pertama
adalah Apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa saja yang kau
mau.” (HR. Bukhari).
Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman;
إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي آيَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا
أَفَمَن يُلْقَى فِي النَّارِ خَيْرٌ أَم مَّن يَأْتِي آمِناً يَوْمَ
الْقِيَامَةِ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. 41: 40).
Akhirul kalam, Salah satu akhlak yang mulia yang merupakan bentuk
ketaatan seorang muslim dan sebagai salah satu wujud rasa syukur kepada
Allah Ta’ala adalah rasa malu kepada Allah. Allah Ta’ala telah
memberikan segala nikmat yang pasti tak dapat terhitung dan Allah Ta’ala
yang menghilangkan segala hal yang menyulitkan dirinya. Hendaknya
seorang muslim memiliki rasa malu kepada Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً،
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ
اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ
“Iman itu bercabang tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih, yang
paling utama adalah kalimat la illaha illallah dan yang paling rendah
adalah menyingkirkan rintangan dari jalan, dan malu termasuk cabang dari
iman.” (HR. Bukhari & Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, “Malu
berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu
berasal dari kata al-hayaa (hujan), karena hujan merupakan sumber
kehidupan bagi bumi, tanaman-tanaman, dan hewan-hewan ternak. Maka
dengan begitu dapat disebutkan bahwa kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat dinamai dengan al-hayaa’. Barang siapa yang tidak memiliki malu
dalam dirinya maka dia adalah mayat di dunia dan kesengsaraan di
akhirat. Adakah “mayat” yang disebut-sebut ini adalah kita?
Judul:
Kuatkan Iman, Peliharalah Rasa Malumu!
Rating:
100%
based on
99998 ratings.
5 user reviews.
Ditulis Oleh
Unknown
01.54
Artikel Terkait Motivasi :
0 komentar:
Posting Komentar